Sabtu, 22 November 2014

Terkadang, Kau Tak Perlu Banyak Bicara.. Mendengarlah!

Tak pelak ku tahan berderainya , dari sudut mata yang kemudian membuat wajahku sembab tatkala membendung aliran air asin hangat yang akan mengalir melalui sudut mata..
Aku bersedih? Dirundung duka? Tentu saja tidak!
Lalu kenapa bulir bulir itu tak tertahan lagi? Tetap menitik membasahi pipi?
Hati ku penuh bunga, aku menengadah ke langit, kemudian berujar mantap kepada Sang Pencipta,
Allah.. Terimakasih telah menghadiahkan ku mereka yang selalu ada bersamaku disaat aku bahkan tak mampu mengangkat kaki ku.

Dikemudian hari bulir itu kembali mengalir..
Hatiku berbunga kembali? Tidak! Dingin menyelimuti hatiku.. kali hatiku dibuat mencelos, dingin yang menyakitkan, seperti hal nya kau barusaja berolahraga di panas terik matahari dan kau diguyur air yang berasal dari lemari es mu. Dingin yang menyakitkan, bukan?

Aku sedang memegang kamera digital using kala itu, aku potret beliau yang sudah tidak muda lagi dengan aktifitas kesehariannya, kemudian beliau berujar, "bisa merekam itu kak?". "Bisa, kenapa pung?", jawabku. “Rekam lah opung dulu.”
Kemudian, beliau mulai bernyanyi.. dengan suaranya yang tidak begitu syahdu, beliat tetap semangat bernyanyi. Aku masih berbahagia dengan nyanyiannya, sampai beliau berkata, “Kak, nanti kalau opung meninggal, putarkan lagu itu ya, bilang sama tante, opung mau diputarkan lagu itu..”

JLEB. Hatiku mencelos, dingin! Mataku memanas, bulir itu kembali jatuh, dan aku hanya bisa berkata, “Iya, pung!”

Kemudian beliau tetap memintaku merekamnya kembali, beliau bercerita, “kalau dalam hidup itu, harus sabar kak, nrimo.. kayak opung ini lah.. kalau opung ndak sabar, mana bisa opung menjalani hidup. Jangan langsung marah kalau lagi ndak senang sama sesuatu, harus sabar ya nak. Kalau terbentur sesuatu, jangan langsung gusar kak, minta sama Tuhan, Dia-lah yang bisa menolong kita. Makanya opung selalu minta, “Ya Tuhaan.. berikanlah aku kekuatan untuk anak-anakku, cucu-cucuku.. sehingga aku tidak perlu merepotkan mereka.” Opung ndak mau merepotkan nak, cukuplah dengan melihat anak sama cucu opung sehat, berkecukupan, sudahlah, opung ndak mau muluk-muluk” Beliau berujar dengan suara bergetar dan menyeka matanya dengan daster rumahannya yang sedikit usang.

Hatiku tersentak, mendengar ucapan dari sosok yang mengajarkanku untuk bersabar, dengan caranya yang sederhana. Bulir itu tiada lagi terbendung. Semua tumpah bagai air bah, gelombang besar tatkala runtuhnya bendungan.

“Pung, batrai kameranya udah habis, di cas dulu ya..” aku mohon pamit secara halus.

Bahu ku berguncang, mataku panas. Ucapan beliau membuatku terenyuh, aku menyadari.. banyak hal yang belum aku lakukan untuk beliau, sementara beliau selalu mencoba melakukan yang terbaik untuk anak dan cucunya.

Beliau adalah kesenanganku, rumahnya adalah tempatku berlibur setiap akhir pekan, semua masakan beliau adalah kegemaranku, omelan beliau kerap menjadi sarapan pagiku ketika aku malas sekolah saat berada di Taman Kanak-Kanak dulu, pelukannya hangat, tak kalah dari pelukan mama. Usapannya di kepalaku kerap ku nikmati tatkala aku cengeng sehabis jatuh dari sepeda. Begitulah beliau.. selalu menjadi pelipur lara, disaat tiada orang yang menghibur dukanya.

Pagi tadi aku kembali bertemu beliau, disaat yang bersamaan, kami menunggu mama pulang dari pasar. Aku memuji syal penuh warna ceria yang kerap melingkari lehernya.
Kali ini, aku yang memeluknya, karena aku sudah tumbuh besar dan jauh lebih tinggi darinya. Disaat aku memeluknya, beliau berkata, “Nanti kalau opung ninggal, kakak nangis ndak?” Ya Rabbi.. aku membatin.. kemudian aku menjawab, “Iyalah.. opung kan kesayangan Lisa..” ujarku masih sambil memeluknya, kemudian aku menambahkan, “Tapi, gak lama kok pung, nanti Lisa do’a kan opung aja..” “Iya, kakak doakan lah opung biar diterima disisi Tuhan, biar diampuni dosa-dosa opung..”
Kemudian aku diam, tak bergeming, tetap pada posisi yang sama, tanganku yang melingkari tubuh opung yang tak lagi muda sembari mengusap punggungnya yang tak lagi tegap berdiri. Pelukanku semakin erat, untuk menegaskan.. opung tak usah khawatir, ada Lisa, ada kami disini. Pelukanku diakhiri dengan kedatangan mama dari pasar, dan kami sama - sama membantu mama berbenah pagi itu.


Ini Opung Cinta kami

Teruntuk Opung yang tercinta.. janganlah bersedih.. ada kami.. berbagilah keluh kesah.. Lisa akan mendengar.. walaupun tak akan banyak membantu, Lisa akan merqangkul opung.. karna jarak rangkulku sudah besar.. tak usah gusar, pung.. pelukanku hangat.. sama halnya dengan pelukan opung dulu.. Sungguh kami menyayangi opung.. tetaplah berbahagia.. bersuka cita..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar